Dalam dunia pendidikan, istilah CTL atau Contextual Teaching and Learning bukanlah hal baru. CTL sendiri merupakan sebuah pendekatan atau sistem belajar yang
didasarkan pada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka
mampu manangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan mereka
menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi
baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya pengetahuan
dan pengalaman yang dimaksud disini adalah pengetahuan yang yang ada dalam diri
siswa serta pengalaman dalam konteks kehidupan sehari-hari.
Pada awalnya, di era 1980-an CTL dikembangkan di Amerika Serikat untuk
menciptakan suatu metode yang tepat dalam kegiatan pembelajaran disekolah. Hingga
akhirnya pada awal abad ke-21 CTL ternyata berhasil memaksimalkan hasil belajar
siswa karena CTL merupakan sistem pengajaran yang cocok dengan otak yang
mennghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari
kehidupan sehari-hari siswa. Keberhasilan ini membuat system pengajaran CTL
diterima dan menyeber luas keseluruh penjuru dunia termasuk Indonesia.
Dalam pembelajaran CTL terdapat
delapan karakteristik yang harus diketahui terutama bagi para pendidik yang menggunakan pendekatan ini, yaitu:
1.
Making meaningful connections (membuat
hubungan penuh makna).
Siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang
belajar aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat
bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar
sambil berbuat (learning by doing)
2.
Doing significant work (melakukan
pekerjaan penting)
Siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan
berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai anggota masyarakat.
3.
Self-regulated learning (belajar
mengatur sendiri)
Siswa melakukan pekerjaan yang signifikan: ada
tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan
pilihan, dan ada produk/hasilnya secara nyata.
4.
Collaborating (kerja sama)
Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja
efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling
memengaruhi dan saling berkomunikasi.
5.
Critical and creative thinking (berfikir
kritis dan kreatif)
Siswa dapat menggunakan tingkat berfikir yang lebih
tinggi secara kritis dan kreatif: dapat menganalisis, membuat sintesis,
memecahkan masalahh, membuat keputusan, dan menggunakan bukti-bukti dan logika.
6.
Nurturing the individual (memelihara
individu)
Siswa memelihara pribadinya: mengetahui, member
perhatian, member harapan-harapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri
sendiri. Siswa tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa.
7.
Reaching high standart (mencapai standar
tinggi)
Siswa mengenal dan mencapai standar yang tinggi:
mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya. Guru
memperhatikan kepada siswa cara mencapai apa yang disebut “exelence”.
8.
Using authentic assessment (penggunaan
penilaian sebenarnya)
Siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks
dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna. Misalnya, siswa boleh menggambarkan
informasi akademis yang telah mereka pelajari untuk diaplikasikan dalam
kehidupan nyata.
Ditjen Dikdasmen menyatakan bahwa pembelajaran
kontekstual memiliki tujuh komponen utama yaitu:
1. Konstruktivisme (constuctivism)
Konstruktivisme merupakan landasan yang paling pokok dalam
pembelajaran berbasis Contextual Teaching
and Learning (CTL) yaitu pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi
sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas atau
masalah-masalah nyata yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
2. Menemukan (inquiry)
Menemukan, merupakan kegiatan inti dari Contextual Teaching and Learning (CTL),
melalui upaya menemukan akan memberikan penegasan bahwa pengetahuan dan
keterampilan serta kemampuan-kemampuan lain yang diperlukan yang diperoleh
siswa diharapkan bukanlah hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, melainkan
hasil dari menemukan sendiri melalui siklus : (1) observasi (observation), (2)
bertanya (questioning), (3) mengajukan dugaan (hiphotesis), (4) pengumpulan
data, (data gathering), dan penyimpulan (conclussion).
3. Bertanya (questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya
yang merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis Contextual Teaching and Learning (CTL). Bertanya dipandang sebagai
kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa.
4. Masyarakat belajar (learning community)
Konsep Learning Community menyarankan agar hasil pembelajaran
diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Sehingga guru disarankan agar
selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar.
5. Pemodelan (modeling)
Dalam suatu pembelajaran selalu ada model yang bisa ditiru. Sehingga
guru harus memberikan model tentang bagaimana cara belajar, kemudian guru dapat
menunjuk siswa untuk memberikan contoh dalam kegiatan belajar. dalam
pembelajaran guru dapat menggunakan alat peraga yang membantu siswa dalam
menyerap materi atau pengetahuan yang diberikan oleh guru.
6. Refleksi (reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau
mengulang kembali tentang apa-apa yang sudah dilakukan dan diperoleh di masa
lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru
dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan
atau revisi dari pengetahuan sebelumnya.
7. Penilaian yang sebenarnya (authentic assessment)
Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan semata hasil, dan dengan
berbagai cara. Penilaian dapat berupa penilaian tertulis (pencil and paper test) dan penilaian berdasarkan perbuatan (performance based assessment),
penugasan(project), produk (product), atau fortofolio (portofolio).
Melalui pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL) ini diharapkan kegiatan pembelajaran menjadi mengasyikkan
dan bermakna, serta dapat mencapai prestasi belajar yang tinggi. Buat para
pendidik, kiranya pendekatan CTL ini patut diterapkan disekolah..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar